Thursday, January 30, 2014

Cerpen "Harapan dan Keajaiban"

"Percayakah engkau kalau aku mengatakan bahwa aku tidak mempercayai tentang adanya keajaiban?"

Dengan santainya pernyataan itu terlontar dari mulut Rianti ketika dia dan Fadhli sedang berolahraga ringan di suatu taman pada Minggu pagi yang cerah, keduanya tengah beristirahat di sebuah bangku panjang sembari meneguk sebotol air mineral dingin setelah melakukan jogging selama kurang lebih setengah jam.

Fadhli menutup botol minumnya sebelum melempar tatapan bingung kepada sahabat sedari kecilnya itu. "Dari sekian banyak topik yang bisa kita bicarakan, kenapa kau harus mengatakan hal itu?"

"Kau pernah berkata bahwa jika ada suatu hal yang mengganjal pikiranku, maka aku harus menceritakannya padamu agar kita bisa membahasnya bersama-sama bukan?" Rianti malah balik menatap Fadhli, kedua alisnya bertautan. "Dan entah kenapa hal ini seringkali mengganggu benakku."

"O-Oke baiklah, silahkan bercerita dan aku akan mendengarkanmu."

"Sampai mana ceritaku tadi?" Rianti mengetuk dagunya dengan jari telunjuk, dia mencoba mengingat sesuatu. "Oh iya, menurutku keajaiban itu tidak ada. Aku tidak tahu apakah harapanku terlalu muluk atau apa, tapi entah kenapa tidak ada satupun keinginan dan impianku yang bisa tercapai. Semuanya seperti kandas di tengah jalan."

"Contohnya?"

"Seperti ketika aku berharap mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri, namun aku tidak mendapatkannya. Atau seperti saat aku gagal memenangkan kuis berhadiah uang jutaan Rupiah. Selain itu ketika kakekku sakit keras, aku berharap agar Tuhan menyembuhkannya. Namun beliau malah meninggal dunia tidak lama berselang. Dan masih banyak lagi harapan lainnya yang tidak terkabul."

Rianti menghindari tatapan mata Fadhli dan memandang sepasang anak kecil yang sedang bermain badminton di kejauhan dengan sendu. Dia melanjutkan, "Bukannya aku tidak mempercayai Tuhan atau apa, tapi kenapa Tuhan tidak pernah mengabulkan doaku dan tidak mengizinkan aku untuk mendapatkan apa yang ku inginkan? Apa Tuhan tidak menyayangiku?"

"Jangan berkata begitu, Tuhan menyayangi seluruh ciptaan-Nya kok."

"Tapi..."

"Bukannya Tuhan tidak mengabulkan keinginanmu, mungkin Ia mempunyai pilihan yang lebih baik untukmu. Kau pasti tahu kan kalau Tuhan itu Maha Mengetahui apa yang tidak diketahui oleh makhluk-Nya? Tidak semua yang kita inginkan adalah sesuatu yang benar-benar kita butuhkan dan Tuhan pasti tahu apa yang terbaik untukmu. Lagipula masih banyak manusia lain yang memanjatkan doa, mungkin ada doa orang lain yang lebih mendesak untuk segera dikabulkan oleh Tuhan."

Rianti tidak bereaksi, dia masih tidak berani menatap laki-laki yang duduk di sampingnya.

"Untuk kasus kematian kakekmu, tidak ada yang bisa manusia lakukan untuk menghindari kematian. Dimana ada awal, disitu pasti ada akhir. Di dunia yang fana ini tidak ada satupun hal yang abadi, semuanya pasti akan mati dan kembali ke pangkuan-Nya untuk hidup di alam kekal bernama akhirat. Lagipula bukankah dengan begini kakekmu tidak akan lagi merasa sakit karena Tuhan telah mengangkat penyakitnya?"

"Iya, kau benar..."

"Guruku pernah mengatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki harapan sama saja dengan orang yang menyerah sebelum berperang. Mereka tidak memiliki arah dan tujuan hidup, layaknya tubuh yang tidak memiliki jiwa. Dan setahuku, Rianti yang ku kenal adalah pribadi yang ceria dan tidak pantang menyerah. Dia selalu bersikap baik pada siapapun, tidak pernah berprasangka buruk, dan tidak pernah suka melihat orang lain sedih atau menderita."

"Jangan suka melebih-lebihkan begitu, Fadh. Aku tidak akan mempan dengan kata-kata manis seperti itu." Rianti tertawa, dia memukul pundak Fadhli walaupun tidak sungguh-sungguh.

"Kau tidak suka dipuji oleh orang lain? Dasar perempuan aneh," ledek Fadhli.

Sepasang sahabat itu kemudian tertawa lepas. Dan bersama dengan meredanya tawa mereka, Rianti merasa beban yang mengganjal pikirannya kini telah terangkat berkat ucapan Fadhli.

"Ternyata tidak sia-sia juga aku menceritakan masalahku padamu, sekarang hatiku terasa lebih lega dan aku bisa melihat bahwa hidup tidak kejam seperti yang selama ini ku bayangkan." Rianti menyunggingkan seulas senyum nan tulus dari hatinya. "Kalau begini terus, kau akan menjadi tempat curhat no. 1-ku setiap aku punya masalah. Terima kasih ya!"

"Tidak masalah sobat, telingaku selalu terbuka untuk mendengar keluh kesahmu. Karena itulah gunanya teman bukan?"

No comments:

Post a Comment